JAKARTA, iNews.id, - Sorotan tajam mengarah kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan belakangan ini. Pemicunya, Pemprov DKI menerbitkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di Pulau D, kawasan hasil reklamasi di Pantai Utara Jakarta. Dengan izin tersebut, ribuan unit bangunan yang berdiri di pulau buatan itu pun kini menjadi legal.
Keputusan ini tak pelak memicu kontroversi. Oleh sebagian kalangan, Anies bukan saja dianggap inkonsistensi, namun juga ingkar janji. Ada pula yang mengecap mantan menteri pendidikan dan kebudayaan ini tak ada bedanya dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang setuju dengan proyek reklamasi.
Terhadap berbagai suara minor itu, Anies tak surut. Penerbitan IMB, kata dia, didasarkan pada peraturan perundang-undangan, terutama Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 206 Tahun 2016 yang mengatur tentang panduan rancang kota (PRK) di pantai hasil reklamasi . Anies menegaskan, IMB hanya diperuntukkan pada bangunan yang telah terlanjur berdiri dan dimaksudkan sebagai investasi. Terhadap proyek reklamasi yang lain, sampai saat ini dia sama sekali tak memberi lampu hijau.
“Ada tambahan satu lagi dalam konteks reklamasi. Kami, Pemprov DKI bukan regulator saja, tapi sebagai pihak yang terikat dalam perjanjian kerja sama. Jadi, reklamasi ini diatur dalam proyek kerja sama antara pemprov dan swasta,” kata Anies dalam wawancara khusus dengan iNews dan iNews.id, Jumat (28/6/2019)
Kerja sama yang seperti apa? Bagaimana dengan pulau-pulau lain yang juga telah digarap, akankah terbit pula IMB di sana? Anies panjang lebar menerangkan seputar proyek reklamasi tersebut. Berikut penuturannya:
Soal terbitnya IMB ini, ada yang bilang kenapa bangunan yang telah disegel tidak dirobohkan sekalian? Kemudian dibuat naturalisasi, habitat asli pulau itu?
Kenapa tidak (dihancurkan), bangunan itu dibuat mengikuti peraturan yang dibuat pemerintah DKI, Pergub PRK Nomor 206 Tahun 2016. Jadi di situ mereka (pengembang/investor) membangun sesuai dengan peraturan yang dibuat. Saya belum bertugas saat itu. Kemudian kalau saya melakukan perubahan pada peraturannya sehingga membuat bangunan menjadi ilegal, itu bisa (saja) dihancurkan.
Tapi yang terjadi, karena mereka membangun legal dan sesuai dengan panduan, inilah masalahnya. Dalam hukum tata ruang perubahan peraturan, pelaksananya tidak boleh berlaku surut. Misalnya, tempat ini diperbolehkan membangun rumah tiga lantai, lima tahun kemudian pergubnya diubah jadi lahan hijau. Artinya, rumah ini tidak boleh dihancurkan, karena ketika rumah dibangun dia mengikuti ketentuan.
Tapi bagi tempat yang di situ masih kosong, peraturan itu bisa diterapkan. Tapi, terhadap bangunan yang sudah jadi tidak boleh. Karena ketika itu terjadi (dihancurkan), maka orang tidak percaya lagi pada peraturan gubernur, tidak percaya lagi pada undang-undang karena undang-undangnya (menjadi berlaku) surut.
Artinya, tetap diberlakukan seperti saat ini?
Peraturan diubah berlaku mulai sekarang dan ke depan. Jadi kalau ada bangunan di situ jadi, lalu kita membuat perubahan peraturan itu tidak serta merta merubah dari legal ke ilegal. Bila itu terjadi, tidak ada lagi orang mau berusaha, tidak ada lagi orang mau investasi, tidak ada lagi orang mau bangun. (Mereka bisa bertanya-tanya) kenapa karena hari ini kita bangun legal, bisa beberapa tahun kemudian bangunan saya jadi ilegal?
Itu yang kemarin saya katakan, kalau saya hanya mengejar tepuk tangan, puji-pujian, hancurkan gedung itu. Kemudian di mana mana orang bertepuk tangan, “hebat bangunan itu dihancurkan”.
Tapi yang terjadi orang tidak percaya lagi keputusan gubernur. Orang tidak percaya lagi pada ketetapan yang dibuat pemerintah, karena yang melanggarnya pemerintah itu sendiri. Kalau yang melanggarnya pihak bersengketa tanah, itu persoalan lain. Suka tidak suka, pergub itu keluar. Pergub itu bersifat mengikat, dan pergub itu harus dilaksanakan.
Berbicara soal Pergub 206 Tahun 2016, gubernur sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama merasa dikambinghitamkan dengan terus di-mention 206-2016. Dalam tanda kutip, dia dalang turunnya IMB di pulau reklamasi. Bagaimana persisnya?
Bila tidak ada peraturan gubernur itu (Pergub 206/2016), tidak ada PRK, tidak bisa keluar HGB. Karena HGB merujuk kepada: satu, ada lahannya. Dua, ada panduan rancang kota, baru kemudian keluar HGB. Setelah keluar baru bisa melakukan kegiatan membangun, namanya juga Hak Guna Bangunan. Jadi bila Pergub 206/2016 tidak ada, maka lahan itu tidak ada Rencana Tata Kota.
Jadi benar ada pernyataan pergub itu sengaja dikebut sebelum pergantian pemerintahan?
Pergub ini (terbit) 25 Oktober 2016 sebelum cuti kampanye. Saya tidak tahu itu dikebut atau tidak. Tapi faktanya, itu dibuat bulan Oktober. Jadi itu menyalahkan atau tidak, tidak perlu soal kambing hitam. Ini adalah bahwa adanya keputusan pergub itu membuat semua kegiatan membangun menjadi legal, karena mereka membangun sesuai RTK. Kalau tidak ada RTK, kira kira mau bangunnya dimana? Jalannya di mana? Ini potongan-potongan seberapa besar.
Jadi begitu ada panduan rancang kota, maka HGB keluar, maka mereka bisa membangun dan bisa mengurus IMB. Jadi ini semua terjadi sebelum saya bertugas disini. Ada tambahan satu lagi dalam konteks reklamasi, ini harus disadari bahwa kami Pemprov DKI bukan regulator saja, tapi sebagai pihak yang terikat dalam perjanjian kerja sama. Jadi, reklamasi ini diaturnya oleh proyek kerja sama antara pemerintah provinsi dan swasta. Jadi beda kalau regulator saja, ’Anda bangun, kami tentukan’. Tapi ini ikatan kerja sama.
Seperti ikatan bisnis begitukah?
Iya dan perjanjian kerja sama itu memiliki sifat mengikat seperti undang-undang bagi pihak yang ada dalam perjanjian itu. Jadi kalau kita bikin perjanjian, maka apapun isinya kita berkewajiban untuk melaksanakan. Kenapa? karena kita sepakat. Nah, Pemprov DKI membuat perjanjian kerja sama dengan pihak pembangun reklamasi.
Proyek reklamasi di pantai utara Jakarta. (Foto: iNews.id/dok).
Jadi urutnya begini, saya jelaskan sedikit. Reklamasi itu program swasta apa pemerintah? Itu program pemerintah, ada Keppres nomor 52 Tahun 1995. Kemudian ada Perda tahun 2005 yang mengharuskan Pemprov DKI melakukan kegiatan reklamasi. Lalu dikatakan, bila Pemprov DKI tidak bisa atau tidak mampu melaksanakan sendiri, bisa melibatkan swasta. Nah pada waktu itu, tahun 1997 yang dilakukan adalah pembahasan kerja sama antara swasta dengan Pemprov DKI. Nah, perjanjian kerja sama ini mengalami adendum atau amandemen/perubahan. Itu (sudah) 3 kali sebelum saya bertugas.
Pulau mana saja yang mengalami adendum?
Pulau D atau pantai D. Dulu namanya Pantai D. Saya mulai bertugas 16 Oktober 2017. Tanggal 2 Oktober ada penandatangan kerja sama, pada 5 Oktober dan 11 Agustus juga ada.
Apa saja yang diubah dalam perjanjian tersebut?
Sebenarnya isi kerja sama itu merujuk pada Pergub 206/2016. Jadi salah satu rujukannya itu. Keluarnya HGB itu merujuk pada perjanjian kerja sama tersebut.
Jadi saya katakan tadi, bila dulu tidak ada rencana tata kota, maka tidak bisa dilakukan turunan kegiatan lain-lainnya itu. Ini bukan menyalahkan atau tidak, ini soal urutan prosesnya. Penting bagi kita saat ini untuk menyadari apa yang kemarin kita kerjakan itu bagian dari menghargai prinsip-prinsip dasar hukum, kepastian atas hukum, sekaligus ada pertimbangan skala prioritas.
Yang sudah terlanjur jadi, bangunan itu lebih dari 1.000, bukan 900 saja. Itu 5 persen dari seluruh lahan hasil reklamasi. Artinya, secara jumlah itu masih kecil, tapi memang sejauh obrolan itu besar.
Berarti masih ada 95 persen lagi yang belum tergarap, rencananya untuk apa?
Betul. Karena itulah nanti kita akan revisi namanya RDTR. Rencana Detail Tata Ruang ini akan mengatur kawasan itu dijadikan apa nanti. RDTR itu bentuknya perda. Saat ini belum ada kegiatan apa pun, mereka (pengembang) berhenti dan kami pun tak akan mengeluarkan izin. Oke jadi berhenti. Ini pada bangunan yang sudah terlanjur terjadi kemarin, sebelum kita bertugas. Bangunan yang dulu kami segel dan ini tuntas prosesnya.
Sudah dua tahun prosesnya, 2015 sampai 2017?
Saya tidak ada caci maki, saya tidak ada bentak-bentak mereka (pengembang). Saya cuma katakan kami segel dan kedaulatan kita tegakkan di tempat ini. Alhamdulillah nurut, bayar tuh semua denda, bayar semua sanksi. Itulah aturan kita, ada yang begini, ada yang merasa gemas dengan soal reklamasi.
Ada yang bilang Anda concern soal lingkungan dan lain sebagainya, tapi tidak mengajak masyarakat ikut serta dalam diskusi ini. Kemudian nasib nelayan juga, bagaimana soal ini?
Itu karena tidak memahami permasalahan. Orang begitu mendengar IMB, membayangkan ini soal reklamasi. Tidak. Ini soal bangun seluas 5 persen yang sudah terlanjur jadi. Tidak ada urusannya yang disebut sebagai nelayan, itu gak ada. Ada IMB atau tidak, gak berpengaruh pada nelayan. Menurut saya itu dilebih-lebihkan dan justru menurut saya harus proposional.
Editor : Zen Teguh
Let's block ads! (Why?)
from iNews.id | Inspiring & Informative kalo berita nya gak lengkap buka link disamping https://ift.tt/2ZVs8Yr