JAKARTA, iNews.id – Mantan wakil gubernur Jawa Barat, Deddy Mizwar, hari ini memenuhi panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pria yang juga populer dengan sebutan Demiz itu diperiksa sebagai saksi terkait kasus dugaan suap perizinan proyek Meikarta di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Deddy tiba di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, sekitar pukul 10.20 WIB. Deddy tampak santai mengenakan kemeja putih lengan panjang dan celana panjang hitam. Dia juga tampak menenteng tas berwarna hitam saat memasuki kantor lembaga antirasuah itu.
Saat ditanya wartawan mengenai Meikarta, Deddy menegaskan bahwa proyek tersebut memang sudah bermasalah sejak awal. Dia menjelaskan, proyek Meikarta yang diduga seluas 774 hektar itu berada di Kawasan Strategi Provinsi (KSP) Jawa Barat.
“Sejak awal kan saya yang mengatakan ada yang kurang beres dalam masalah rencana pembangunan Meikarta. Pertama, karena itu di kawasan strategis provinsi, yang harus mendapatkan rekomendasi dari provinsi yang menyangkut tata ruang,” kata Deddy di Kantor KPK, Jakarta, Rabu (12/12/2018).
Menurut dia, wajar jika KPK memanggilnya terkait dengan perkara Meikarta. Pasalnya, Deddy selaku wakil gubernur Jawa Barat ketika itu hanya memberikan rekomendasi lahan proyek seluas 84,6 hektare. Rekomendasi dari Pemprov Jabar itu, kada dia, sudah sesuai dengan peraturan tata ruang.
Namun, entah bagaimana caranya, belakangan Meikarta tiba-tiba bisa menggarap lahan seluas 774 hektare. “Yang jelas, pertengahan 2017 provinsi (Pemprov Jabar) mengekuarkan rekomendasi hanya 84,6 hektare, sesuai SK Gubernur Tahun 1993, karena belum terjadi perubahan (aturan) tata ruang,” tutur Deddy menjelaskan.
Dia berpendapat, jika Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi melanggar aturan terkait tata ruang sehingga menyebabkan pihak Lippo mendapatkan lahan proyek melebihi dari yang direkomendasikan Pemprov Jabar, itu berarti sudah termasuk pidana. “Yang jadi haknya harus segera kita berikan. Yang bukan haknya enggak bisa, karena pelanggaran tata ruang adalah pidana,” ujarnya.
Dalam perkara Meikarta, KPK menduga ada suap terkait dengan perizinan pada fase pertama untuk lahan seluas 84,6 hektare, dari tiga fase dengan total 774 hektare lahan proyek. KPK menyangka Bupati Bekasi nonaktif Neneng Hasanah Yasin dan kawan-kawan menerima suap untuk perizinan fase pertama sejumlah Rp13 miliar, dan baru terealisasi sebesar Rp7 miliar. Uang suap itu diberikan kepada Neneng dan kawan-kawan melalui sejumlah kepada dinas. Uang tersebut diduga diberikan dari pihak Lippo Group yakni Billy Sindoro bersama sejumlah konsultan Lippo Group.
KPK telah menetapkan sembilan orang tersangka dalam kasus tersebut. Lima di antaranya adalah Bupati Neneng; Kadis PUPR Kabupaten Bekasi, Jamaludin; Kadis Pemadam Kebakaran Kabupaten Bekasi, Nahat MBJ Nahor; Kadis DPMPTSP Kabupaten Bekasi, Dewi Tisnawati, dan; Kabid Tata Ruang PUPR Kabupaten Bekasi, Neneng Rahmi. Kelima orang itu diduga sebagai penerima suap.
Selanjutnya, ada Direktur Operasional Lippo Group, Billy Sindoro; Konsultan Lippo Group, Taryudi; Konsultan Lippo Group, Fitra Djaja Purnama, dan; pegawai Lippo Group, Henry Jasmen yang diduga sebagai pemberi suap.
Sebagai pihak penerima, Neneng dan sejumlah kepala dinas di Pemkab Bekasi disangkakan melanggar pasal Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 atau Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Editor : Ahmad Islamy Jamil
from iNews.id | Inspiring & Informative kalo berita nya gak lengkap buka link disamping https://ift.tt/2PyQDF9
No comments:
Post a Comment