Pages

Tuesday, May 7, 2019

China Tindak Keras Minoritas Muslim yang Jalani Puasa Ramadan

BEIJING, iNews.id - Saat ini umat Islam di seluruh dunia tengah menjalankan ibadah bulan suci Ramadan. Pada saat yang sama pula, otoritas China kembali melakukan tindakan keras terhadap puasa dan sejumlah praktik keagamaan oleh minoritas Islam di sana.

Menurut organisasi Human Rights Watch dan para aktivis, pembatasan itu terutama diberlakukan di Provinsi Xinjiang yang mayoritas penduduknya Muslim, di mana otoritas China seringkali tinggal di rumah keluarga Muslim untuk menekan kegiatan keagamaan mereka.

Dalam laporan yang dirilis pekan lalu, Amnesty International menyebut otoritas China memandang puasa Ramadhan -bersama dengan aktivitas lain yang berafiliasi keagamaan termasuk jenggot, jilbab, salat 5 waktu, dan larangan konsumsi alkohol- sebagai tanda ekstrimisme.

"Semua ini bisa membuat Anda berada di salah satu kamp penataran Xinjiang, yang oleh pemerintah disebut 'pusat transformasi-melalui-pendidikan'," kata laporan itu, seperti dilaporkan ABC News, Rabu (8/5/2019).

Otoritas China sejak lama memandang agama terorganisir sebagai ancaman terhadap kesetiaan partai, dan menjaga kontrol ketat semua kelompok agama. Namun minoritas Muslim di wilayah Xinjiang menanggung beban tindakan keras yang jauh lebih agresif.

Alip Erkin, seorang aktivis media dari Buletin Uighur, mengatakan, meski pembatasan puasa Ramadan di sekolah dan kantor pemerintah sudah ada selama beberapa dekade, pengawasan dan penahanan massal meningkat selama tiga tahun terakhir dalam upaya menghentikan keluarga di sana mengikuti tradisi Muslim bahkan di rumah mereka sendiri.

Erkin mengatakan orang-orang kini khawatir mereka dikirim ke kamp-kamp penataran, jika mereka terlibat dalam kegiatan keagamaan atau mengungkapkan identitas agama atau budaya tradisional mereka.

Pihak berwenang China sebelumnya menyatakan tidak membatasi praktek Ramadan.

Pada 2016, Dewan Negara China menerbitkan sebuah dokumen berjudul Kebebasan Beragama Beragama di Xinjiang, yang mengatakan "perasaan dan kebutuhan agama warga negara dihormati sepenuhnya".

Dikuliahi nilai-nilai sosialis

Erkin, yang sekarang tinggal di Australia, mengatakan selama masa sekolahnya, puasa dan berdoa selama Ramadan tidak dianjurkan.

"Pada 2014, larangan itu semakin intensif," katanya.

"Mereka mulai mengumpulkan orang-orang di tempat kerja dan sekolah mereka dan memberi mereka makan siang untuk memastikan mereka tidak berpuasa."

ABC News menemukan posting-an dan pemberitahuan di berbagai situs pemerintah yang berasal dari 2014 dan 2015 yang melarang tradisi puasa dan Ramadan, dan memperingatkan bahwa setiap restoran yang tutup selama Ramadan berisiko kehilangan lisensi.

Situs-situs pemerintah itu tampaknya tidak memiliki postingan terbaru yang melarang puasa dan salat, namun menurut para aktivis, larangan tak resmi bagi pelajar dan pejabat pemerintah tetap diberlakukan di seluruh China.

Tindakan keras terhadap kebebasan beragama di rumah juga meningkat selama beberapa tahun terakhir.

Meski ada pembatasan ketat di lembaga pemerintah di seluruh China selama 2014 dan 2015, Erkin mengatakan keluarga masih diberi kebebasan beragama di rumah.

"Ayah saya, yang adalah seorang pengusaha dan tidak memiliki koneksi ke Pemerintah, dulu bisa berpuasa di rumah tanpa batasan," kata Erkin.

Namun pada Mei 2017 semua itu berubah, katanya, dan ayahnya- yang adalah seorang Muslim yang taat- ditahan.

Pada tahun yang sama, laporan-laporan tentang penawanan massal mulai muncul dan pengawasan ditingkatkan.

PBB memperkirakan hingga 1 juta warga Uighur dan kelompok Muslim lainnya ditahan di kamp-kamp penataran di Provinsi Xinjiang sejak 2017.

Kamera dan perekam audio kini ditemui di setiap jalan dan memantau pintu banyak rumah.

Pejabat pemerintah juga mulai melakukan "kunjungan rumah" rutin di Xinjiang.

"Keluarga diharuskan untuk memberikan informasi kepada petugas tentang kehidupan dan pandangan politik mereka, dan menjadi sasaran indoktrinasi politik," demikian laporan Human Rights Watch.

Aileen (37) seorang Muslim Hui dari Provinsi Gansu, mengatakan para pejabat secara rutin menggeledah rumah dan tinggal bersama keluarga di Xinjiang selama sekitar satu pekan.
"Tujuannya untuk memastikan tidak ada praktik keagamaan di dalam rumah itu," ujar Aileen.

"Jika barang-barang seperti sajadah atau buku-buku keagamaan ditemukan, mereka biasanya ditahan," kata Aileen, yang meminta agar hanya nama depannya saja yang dikutip untuk melindungi anggota keluarga yang masih tinggal di China.

"Kebanyakan orang tak lagi menyimpan Al-Quran di rumah mereka," katanya.

Selain "tinggal di rumah", para pejabat lokal secara teratur mengunjungi keluarga-keluarga dengan mendadak untuk memeriksa mereka tidak berpuasa atau berdoa, kata Erkin.

Ceramah tentang nilai-nilai inti sosialis juga sering diadakan untuk "menyapa Ramadan", menurut sebuah artikel dari media pemerintah China, Global Times, yang diterbitkan tahun lalu.

Erkin menggambarkan salah satu ceramah menginstruksikan orang untuk tidak menggunakan sapaan khas Muslim seperti Assalamualaikum, yang berarti damai besertamu.

Sasaran utama pengawasan dan penahanan adalah etnis Uighur, salah satu dari beberapa minoritas Muslim yang tinggal di China yang berjuang untuk merdeka dari China di masa lalu.

Meski ada pengawasan dan beberapa pembatasan pada praktik keagamaan di wilayah lain di China, Aileen, yang kini menjadi penduduk Australia, mengatakan keluarganya di Gansu masih diizinkan untuk berpuasa dan berdoa.

Tetapi di Provinsi Xinjiang, semua Muslim mengalami penahanan dan larangan praktik keagamaan.

Kampanye balas dendam

Di Xinjiang, Erkin mengatakan ancaman penangkapan menciptakan iklim ketakutan di mana orang-orang menutup diri dari aktivitas keagamaan dan terlalu takut untuk berpuasa di rumah mereka sendiri.

Aktivis di seluruh dunia menyerukan gerakan #FastFromChina sebagai balasan atas larangan itu, menyerukan umat Islam dan pendukung hak asasi manusia untuk menahan diri dari membeli produk-produk China untuk mendukung minoritas Muslim China yang tertindas.

"China adalah satu-satunya tempat di dunia di mana umat Islam tidak boleh berpuasa," kata sebuah postingan di situs Save Uighur yang mengumumkan kampanye tersebut.

"Kami menyerukan kepada orang-orang yang peduli pada kebebasan beragama untuk tidak membeli produk China selama bulan Ramadan."

"Ramadan adalah tentang mengurangi konsumsi dan berbagi lebih banyak. Jadi mari kita berpuasa dari produk China sebagai solidaritas untuk mereka yang tidak bisa berpuasa di China."

Postingan Twitter dan posting Facebook yang berisi tagar #FastFromChina diunggah dari banyak negara termasuk Amerika Serikat (AS), Australia, Inggris, dan negara-negara di seluruh Timur Tengah.

"Ramadan yang akan datang ini, jangan hanya berpuasa dari makanan dan air, tetapi juga dari produk-produk buatan China," tulis Aydin Anwar, warga Uighur-Amerika di Twitter.

"Ini akan menjadi langkah besar ke depan dalam menantang genosida China terhadap warga Uighur dan bangsa Altaik (yang banyak mendiami wilayah Asia Tengah dan Barat) lainnya."

Editor : Nathania Riris Michico

Let's block ads! (Why?)

from iNews.id | Inspiring & Informative kalo berita nya gak lengkap buka link disamping http://bit.ly/2VnpzAK

No comments:

Post a Comment