
JAKARTA, iNews.id - Berdasarkan data Bloomberg pukul 14.19 WIB, nilai tukar rupiah terus menguat hingga ke level Rp13.962 per dolar Amerika Serikat (AS). Dengan demikian, rupiah menguat 2,97 persen sejak awal 2019.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, penguatan tersebut belum mencapai nilai fundamentalnya. Pasalnya, sebelum bergejolak pada tahun lalu, rupiah bertengger di level Rp13.800 per dolar AS.
Menurut dia, penguatan rupiah akibat terjadinya pelemahan yang signifikan pula pada tahun lalu. Seperti diketahui, tahun lalu ekonomi global maupun nasional tengah bergejolak akibat normalisasi kebijakan AS dan berimbas pada nilai tukar beberapa mata uang.
"Belum fundamentalnya, masih ada ruang (penguatan). Jangan lupa dulu sebelum gejolak terjadi, di awal tahun lalu, waktu itu kurs hanya Rp13.800-an. Jadi ya naik begitu saja karena ada pelemahan," ujarnya di kantornya, Jakarta, Jumat (1/1/2019).
Kendati demikian, pergerakan nilai tukar mata uang Garuda ini masih bergantung pada perekonomian dunia. Apalagi, di tahun ini ketidakpastian global masih dimungkinkan akan berlanjut.
"Tergantung ekonomi dunia apa yang terjadi, ekonomi kita apa yang terjadi. Jadi jangan dianggap itu otomatis. Tapi nilai fundamentalnya masih harusnya rupiah masih lebih kuat dari yang sekarang," ucapnya.
Sementara itu, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Nanang Hendarsah sebelumnya mengatakan, penguatan tajam pada rupiah ditopang pelepasan valuta asing (valas) oleh investor asing dan perbankan. Hal ini dipengaruhi hasil pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) Bank Sentral AS, The Fed.
Ketua The Fed Jerome Powell mengumumkan untuk menahan suku bunga acuannya (Fed Fund Rate/FFR) di kisaran 2,25-2,5 persen pada Rabu 30 Januari 2019. Kini, The Fed pun mengadopsi pendekatan yang lebih berhati-hati dalam menaikkan suku bunga acuan.
Kebijakan ini berbeda dari beberapa tahun terakhir yang agresif melakukan pengetatan moneter. "Pelepasan valas karena kebijakan moneter Bank Sentral AS yang memutuskan tidak mengubah FFR dengan statement yang dovish, di mana the Fed akan bersabar dalam membuat keputusan perubahan FFR ke depan dan mengindikasikan kemungkinan memperlambat proses normalisasi neraca The Fed," katanya, Kamis (31/1/2019).
Dia menjelaskan, arah kebijakan The Fed tersebut membuat potensi kenaikan FFR berkurang. "Sehingga implied probability kenaikan FFR hingga Desember tahun ini kembali turun, sementara implied probability penurunan FFR di akhir tahun naik menjadi 22persen," tuturnya.
Editor : Ranto Rajagukguk
from iNews.id | Inspiring & Informative kalo berita nya gak lengkap buka link disamping http://bit.ly/2Uz6WVl
No comments:
Post a Comment