NEW YORK, iNews.id - Para ilmuwan terkejut dengan kekuatan tsunami yang menghantam Kota Palu, Sulawesi Tengah, pascagempa 7,4 Skala Richter (SR) pada Jumat pekan lalu.
Mereka mengira, dari magnitude gempa, seharusnya ketinggian gelombang tsunami di Palu tak setinggi itu yakni mencapai enam meter.
"Kami mengira gempa itu memang menyebabkan tsunami, tapi tidak sebesar itu," kata Jason Patton, ahli geofisika dari Humboldt State University, California, yang juga bekerja untuk konsultan Temblor, dikutip dari The New York Times, Senin (1/10/2018).
Menurut dia, ada pelajaran yang bisa diambil dari kejadian ini. "Kita lebih mungkin menemukan hal-hal yang belum pernah diamati sebelumnya," ujarnya.
Gempa yang terjadi pada sore hari itu bertitik pusat sekitar 80 kilometer sebelah utara Palu. Sekitar 30 menit kemudian, gelombang setinggi sekitar enam meter menerjang kawasan pantai, menghancurkan rumah, gedung, serta mengempaskan banyak kendaraan.
Gelombang tsunami juga menerjang Donggala, meskipun dampak kerusakannya tak separah di Palu.
Tsunami tinggi sering kali terjadi sebagai hasil dari gempa megathrust. Bagian kerak bumi mengalami deformasi, bergerak secara vertikal di sepanjang patahan. Hal ini menyebabkan gelombang berkecepatan tinggi melintasi cekungan samudera dengan jangkauan hingga ribuan kilometer dari titik pusat gempa.
Gempa bumi dan tsunami setinggi 30 meter di Aceh pada 2004 menewaskan hampir seperempat juta orang di Indonesia dan negara lain dihasilkan dari gempa 9,1 SR.
Berbeda dengan gempa di Sulteng di mana gerakannya horizontal. Gerakan semacam itu biasanya tidak berpotensi menimbulkan tsunami.
"Tetapi dalam keadaan tertentu, bisa," kata Patton.
Menurut dia, pergerseran sesar mungkin mengalami gerakan vertikal yang dapat mengangkat air laut. Zona patahan sesar, yang panjangnya diperkirakan sekitar 112 km, dapat melewati daerah di mana dasar laut naik atau turun. Saat patahan bergerak akibat gempa, dia akan mendorong air laut di depan.
Kemungkinan lain, tsunami tercipta secara tidak langsung. Guncangan keras saat gempa mungkin menyebabkan longsor bawah laut yang menciptakan gelombang. Kejadian seperti itu memang tidak biasa, di antaranya terjadi saat gempa 9,64 SR di Alaska pada 1964.
Patton mengatakan, kombinasi beberapa faktor mungkin menjadi pemicu terjadinya tsunami. Untuk itu, studi tentang dasar laut akan sangat penting untuk memahami misteri di balik terjadinya tsunami pada setiap gempa.
"Kami tidak akan tahu apa penyebabnya sampai itu selesai," katanya.
Tsunami juga bisa terjadi karena posisi Palu di ujung teluk yang sempit. Garis pantai dan kontur teluk membuat arah gelombang menjadi terfokus ke teluk, sehingga gelombang menjadi tinggi begitu mendekati pantai.
Efek semacam ini pernah terjadi sebelumnya seperti di Crescent City, California dan gempa Alaska 1964.
Ilmuwan dari University of Pittsburgh, Louis Comfort, mengatakan, Indonesia hanya mengandalkan seismograf, global positioning system (GPS), serta alat pengkurur pasang surut, untuk menentukan tsunami. Menurut perempuan yang pernah terlibat dalam mendatangkan sensor tsunami di Indonesia itu, kemampuan alat-alat tersebut sangat terbatas.
Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional AS memiliki telknologi canggih menggunakan 39 sensor dasar laut yang dapat mendeteksi perubahan tekanan yang sangat kecil sekalipun. Alat ini bisa membantu menunjukkan jalur tsunami. Data tersebut kemudian disampaikan dan dianalisis melalui satelit, lalu hasilnya dikeluarkan dalam bentuk peringatan.
Comfort mengatakan, Indonesia sebenarnya memiliki 22 sensor, namun tidak berfungsi lagi karena rusak.
Proyek yang sedang dikerjakannya akan membawa sensor baru ke Indonesia, yakni menggunakan sistem komunikasi bawah laut. Alat ini memiliki keuntungan karena akan terhindar dari kerusakan akibat terkena jeratan nelayan atau rusak akibat ditabrak kapal di permukaan.
Dia telah mendiskusikan proyek tersebut dengan tiga lembaga pemerintah Indonesia. Namun rencana untuk memasang prototipe sistem tersebut di Sumatera bagian barat pada bulan lalu ditangguhkan.
"Indonesia berada di Ring of Fire, tsunami akan terjadi lagi," tuturnya.
Editor : Anton Suhartono
from iNews.id | Inspiring & Informative kalo berita nya gak lengkap buka link disamping https://ift.tt/2NTwYUr
No comments:
Post a Comment