
JAKARTA, iNews.id – Nilai tukar rupiah dalam beberapa hari terakhir mengalami pelemahan. Padahal, pekan lalu sempat menunjukkan penguatan signifikan. Berdasarkan laporan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) Bank Indonesia, rupiah melemah 32 poin menjadi Rp14.539 per dolar AS dari sebelumnya Rp14.507 per dolar AS.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengakui tekanan terhadap rupiah murni berasal dari eksternal, terutama situasi global terkini. Pelaku pasar kembali mengkhawatirkan perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China menyusul ditangkapnya salah satu eksekutif raksasa telekomunikasi asal Tiongkok. Pimpinan perusahaan ini ditangkap karena diduga kuat melanggar penerapan sanksi ekonomi AS terhadap Iran.
Padahal, kedua negara sempat menyepakati adanya ‘gencatan senjata’ perang dagang dan mulai menegosiasikan kebijakan dagang dalam waktu 90 hari. "Memang dunia ini aneh sekali, ada yang ditangkap malah goyang dunia. Ini aneh-aneh saja," kata Darmin, ditemui di gedung Ali Wardhana, Jumat (7/12/2018).
Meski begitu, Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI) ini menilai, rupiah masih memiliki potensi untuk berbalik menguat hingga penutupan tahun. Pasalnya, pemerintah saat ini terus berupaya menjaga kepercayaan investor menanam dana di Indonesia.
"Tetap ada. Yang penting kita pelihara confident dari market, bikin kebijakan untuk vokasi, kemudian untuk ekspor, nanti ekspor apa, pelan-pelanlah satu-satu kita pelihara iklim dan confident-nya nanti lama-lama menguat." ujarnya.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menyatakan, selain perang dagang, terjadinya penjualan saham di pasar global beberapa waktu terakhir, juga memiliki andil terhadap melemahnya rupiah. Mirza menjelaskan, aksi jual saham di AS membuat bursa saham regional lainnya terimbas.
Mirza menilai, aksi jual saham di AS karena pasar mengkhawatirkan tentang perlambatan ekonomi. Ini terlihat dari kurva surat utang AS yang turun yang menjadi penanda bahwa ekonomi negara maju ini tengah tertekan.
"Jadi angka-angka dari Amerika, itu menunjukan ada perlambatan pertumbuhan ekonomi Amerika, jadi akibatnya akan terjadi perlambatan pertumbuhan laba perusahaan di Amerika, kemudian pasar saham bereaksi, kita lihat beberapa hari terakhir terjadi penjualan saham global, terjadi penjualan saham di Smerika. Kemudian itu menular terhadap penjualan saham di emerging markets, kemudian itu indonesia," tutur Mirza.
Editor : Ranto Rajagukguk
from iNews.id | Inspiring & Informative kalo berita nya gak lengkap buka link disamping https://ift.tt/2G6phH7
No comments:
Post a Comment