
BOGOR, iNews.id - Sebagian masyarakat meragukan Badan Pusat Statistik (BPS) soal data kemiskinan yang berhasil menembus level satu digit dan terendah sepanjang sejarah RI. BPS menegaskan bahwa data tersebut valid dan dapat dipercaya.
Kepala BPS, Suhariyanto mengatakan, data kemiskinan yang dirilis secara berkala setiap Maret dan September merupakan data yang dikeluarkan BPS secara independen dan tidak diintervensi oleh pemerintah. Pada Maret 2018, angka kemiskinan mencapai 9,82 persen.
Pria yang akrab disapa Kecuk itu menjelaskan, metodologi yang digunakan BPS untuk menghitung kemiskinan telah diterapkan sejak 1976. Dengan kata lain, metodologinya tidak berubah dan mengacu pada standar internasional. Metodologi itu, kata dia, diterapkan otoritas statistik di negara-negara tetangga, termasuk Thailand dan Vietna.
"Semua mengacu pada kebutuhan dasar. Yang jadi goreng-gorengan itu kan garis kemiskinan ya yang sekitar Rp380.000. Itu kan per kapita. Tapi kalau kita menghitung garis kemiskinan dikali jumlah anggota rumah tangga, tinggi sebenarnya. Garis kemiskinannya di DKI hampir Rp3 juta. Di NTT bahkan lebih tinggi dari Yogyakarta," kata Kecuk dalam Workshop Wartawan di Hotel Aston Bogor, Jawa Barat, Sabtu (24/11/2018).
Kecuk mengatakan, capaian tersebut karena sejumlah program yang dilakukan pemerintah seperti pemberian bantuan sosial (bansos) yang lancar dan program-program lainnya. Namun, BPS menilai, ada banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh pemerintah. Pembacaan terhadap data BPS secara lebih utuh menjadi kunci.
"Ketika baca data statistik, harusnya jauh lebih utuh. Tidak hanya 9,82 persen. Tapi kenapa bisa turun ke 9,82 persen. Tapi BPS tetap objektif tidak memihak ke satu pihak," ucapnya.
Saat data kemiskinan BPS dan Bank Dunia dibenturkan, Kecuk menyebut, justru Bank Dunia mengambil data mentah dari BPS. Hanya saja, lembaga internasional itu menggunakan indikator yang berbeda yaitu konsumsi 1,9 dolar AS per hari.
"Karena tujuan dia membandingkan Indonesia dengan negara lain. Tapi kalau Bank Dunia sendiri mau menganalisis kemiskinan di Indonesia, dia pakai data BPS, karena dia enggak punya data sampai provinsi. Jadi data World Bank hanya dipakai untuk data internasional. Saya pribadi enggak akan nanggepin kalau saya tidak melihat datanya sendiri," tutur dia.
Kecuk menyadari isu ekonomi, khususnya kemiskinan menjadi komoditas politik menjelang Pemilu Presiden (Pilpres 2019). Namun, seluruh pihak, termasuk elite politik menggunakan data secara valid. BPS, kata dia, hanya melihat data secara objektif. Jika ada kurang, dikatakan kurang. Jika ada capaian, berarti ada capaian.
"Kita jelaskan berulang kali bahwa ketika ada capaian kita bilang capaian, ke depan saya ingin diskusi di sana (politik) itu didasarkan pada data yang valid dan lebih menyentuh pada substansi. Tidak pada statement yang isinya kosong tapi menggiring ke hal yang menurut saya kurang produktif," katanya.
Editor : Rahmat Fiansyah
from iNews.id | Inspiring & Informative kalo berita nya gak lengkap buka link disamping https://ift.tt/2DIZgLn
No comments:
Post a Comment